Saturday 12 November 2011

Melanesian Spearhead Group (MSG) akan Mengizinkan West Papua Melamar sebagai Status Peninjau

Posted at 20:55 on 11 November, 2011 UTC

Terjemahan PMNews dari sumber: http://www.rnzi.com/pages/news.php?op=read&id=64348

West Papua akan diberikan kesempatan untuk melamar diri menjadi peninjau dalam MSG.

Direktur Jenderal sekretariat MSG di Port Vila, Peter Forau, memberitahukan kepada Radio Vanuatu bahwa hal ini telah disetujui minggu lalu pada pertemuan para Menlu MSG.

Akan tetapi, Forau mengatakan status peninjau bagi West Papua dimaksud dibentuk sebagai bagian dari kelompok yang mewakili Indonesia.

Pada KTT MSG di Fiji pada Maret lalu, Indonesia diberikan status peninjau.

Salah satu anggota MSG ialah Kanaks dari Gerakan Kaledonia Baru (ed, Melanesia).

 

News Content © Radio New Zealand International

PO Box 123, Wellington, New Zealand

Wednesday 9 November 2011

Neles Tebay: Jakarta Siap Dialog

Rabu, 09 November 2011 17:53

JAYAPURA — Koodinator Jaringan Damai Papua Pastor Neles Tebay mengatakan, pemerintah pusat sudah siap berdialog dengan masyarakat Papua. 

Hal itu diungkapkan kepada Bintang Papua, Rabu  malam( 9/11) usai mendapatkan informasi tersebut.

Sebelumnya  pada pemberitaan  kantor berita Antara pada Selasa 2 November 2011 diberitakan  bahwa, Menkopolhukam menerima tawaran Dialog dari rakyat Papua. Dikatakan,  adanya tawaran  dari Pemerintah yang diutarakan Sesmenkopolhukam tentang  dukungan Pemerintah untuk melakukan Komunikasi Konstruktif dengan masyarakat Papua disambut baik dan itu sudah  bagus.

“ Kita secara khusus Masayarakat Papua perlu menyambut baik upaya Komunikasi yang mau dibangun dan sudah diutarakan Pemerintah, bahwa hanya komunikasi Konstruktif yang akan dilakukan Pemerintah dalam menyelesaikan  semua Permasalahan krusial di Tanah Papua,  sekalipun masih belum jelas, tetapi dengan memperkatakan akan berkomunikasi dengan masyarakat Papua, itu sudah merupakan hal  baik, berarti ada itikat baik dan kepedulian besar dari Pemerintah,” ungkapnya.

Namun Komunikasi Konstruktif yang mau dipakai Pemerintah itu harus jelas dan Pemerintah berkewajiban menerangkan kepada  masyarakat Papua, kira- kira bentuk seperti apa kah Komunikasi Konstruktif yang dimaksudkan Pemerintah, apakah  ada tahapan tahapan yang mesti dilalui, hal ini perlu dijelaskan.  Dikatakan selama ini, kita hanya mendengar Komunikasi Konstruktif, namun semuanya belum jelas, maka untuk menyatukan persepsi di masyarakat  akan tercapainya sebuah Dialog yang diinginkan bersama dalam Dialog  Jakarta – Papua, perlu disamakan dengan Komunikasi Konstruktif yang ditawarkan Pemerintah,  sehingga Pemerintah diajak  untuk  bertemu  dalam suatu Pertemuan dengan masyarakat Papua yang mengiginkan Dialog,  yang kemudian dalam pertemuan itu akan jelas,  makna  substansial dari Dialog Jakarta Papua dan Komunikasi Konstruktif.

Dengan demikian,  dalam pertemuan itu  perlu membahas format Dialog dan format Komunikasi Konstruktif yang bisa diterima kedua belah pihak , Pemerintah dan masyarakat Papua.  Dirinya optimis akan ada penyelesaian masalah bagi masyarakat Papua. (Ven /don/l03)

Tuesday 8 November 2011

Uang 140 Milyar Freeport ke Polisi Sudah Biasa

31 October 2011 | 23:36

PT. Freeport di Papua kembali mengucurkan dana lauk pauk kepada personil kepolisian senilai 14 juta US Dollar atau kurang lebih 140 miliar. Dana tersebut dikabarkan sebagai imbalan perusahaan kepada prajurit kepolisian untuk meningkatkan pengamanan perusahaan tersebut. Pemberian uang yang langsung diterima kepolisian yang bertugas di areal freeport seakan melanggar aturan negara. UU ( Undang-undang ) kepolisian N0.102 tahun 2002 tidak mengatur adanya pungutan atau pemberian uang “saku” kepada aparat negara yang bertugas, dengan tujuan demi menjaga integritas kepolisian dan keprofesionalisme penegak hukum. Namun, kenyataanya kebalikan. Pemberian uang sulap semacam itu dari freeport merupakan hal biasa dan sudah menjadi tradisi sejak perusahaan amerika berkaki di Indonesia ( Papua ).

 karakteristik freeport dalam menjalankan usahanya di dunia, termasuk Papua, akan selalu mempraktekkan tiga hal. Peratama, untuk menopang kelancaran usahanya perusahaan selalu memberi kenyang sejumlah politisi di negara setempat. Peranan politisi dan penguasa menerima suap tersebut agar senantiasa membela dan menjaga keberadaan perusahaan. Kelompok elit kekuasaan; pemerintahan berkuasa, partai politik dan para tokoh bangsa tak luput dari tradisi “suap” yang dilakukan oleh freeport. Kriteria pemberian suap kepada komponen tersebut tidaklah sembarangan, tetapi budaya tutup mulut dilakukan walaupun rezim suatu kekuasaan tidak tahu sedang di ” kurung ” secara sistematis melalui berbagai fasilitas berupa materi maupun dukungan politik tertentu. Kejayaan Suahrto selama 32 tahun lebih dapat diduga bagian dari dukungan amerika sebagai ucapan terimaksih mereka karena mantan presiden tersebut menerima kehadiran freeport di Indonesia. Begitu pula rezim selanjutnya pasca almarhum orde baru itu. Lihat saja gelagat Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono sekarang tidak tegas soal freeport. Bentuk-bentuk lips service politik tidak saja berupa uang tapi juga berupa jabatan komisaris. Mantan menkuham dan ketua komnasham pun di rektrut menjadi komisaris di freeport.

 Kedua, prilaku perusahaan untuk kasi makan moncong senjata. artinya pemberian dana ilegal diluar ketentuan UU negara, merupakan hal biasa dan tentunya sudah merupakan kewajiban freeport. Bagi kita pemberian dana lauk pauk melanggar ketentuan peraturan negara tentang polisi, tetapi bagi manajemen perusahaan freeport indonesia menjadi keharusan bahwa aparat harus dikasi makan agar mudah dikendalikan. Pemberian kepada serdadu “moncong senjata” tidak saja kepada lembaga atau institusi resmi negara, tetapi kepada kelompok mana saja yang nota bene pegang senjata dan bikin kacau perusahaan, baik gerombolan pengacau seperti premanisme maupun struktur teritorial negara yang tidak terkomando. Pasal 2  UU N0.102 Kepolisian mengenai Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan, keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Nah, polisi terima uang dari freeport bisa saja ditambah bahwa fungsi polisi juga terima uang dari perusahaan?

 Karakteristik ketiga adalah membangun agen dilapisan rakyat. Berupa pendirian lembaga, sampai pada pendirian organisasi adat untuk kasus Papua. Tragis sekali bila kita menguarai cara kerja sistematis yang selama ini diterapkan oleh freeport agar tetap aman. Pengelompokan warga pemilik hak ulayat kedalam tujuh suku merupakan bikinan freeport semata agar mudah dikendali. Terhitung ada puluhan suku di sekitar freeport. Yang tercatat saja seperti; Amungme, Kamoro, Mee, Ekari, Nduga dan Moni. Sedangkan masih ada suku lain yang belum diakomodir, seperti Dani atau Lanni dan penduduk di tebing freeport punya suku tersendiri lagi. Berhasil mengelompokan masyarakat adat, perusahaan freeport juga disinyalir membangun kelompok lembaga swadaya masyarakat ( LSM-gadungan ) baik di Timika maupun diluar Papua. Sogok menyogok kepada aktivis HAM dan Lingkungan juga tak terelakkan dilakukan oleh freeport. Misal saja, Wahana Lingkungan Hidup ( WALHI ) pada tahun 1996 membekukan cabangnya di Papua karena terindikasi  aktivis walhi mendapat dana gelap dari freeport.

 Seperti demikianlah, bila dirunut dari belakang hingga sekarang, lingkaran setan yang dibentuk FI masih saja eksis. Dimulai dari para penguasa, militer dan masyarakat sipil sudah menjadi tradisi yang terus dilakukan selama beroperasinya suatu freeport di wilayah mana dia ber-tambang.  Lebih mengerikan lagi yang terjadi sekarang. Manajemen perusahaan justru cepat mencairkan dana keamanan ditengah tuntutan kenaikan upak pekerja yang sampai sekarang memblokir jalur di freeport.

 

Mengakhiri Uang Haram dari Freeport

pemberian uang haram dari freeport kepada institusi kepolisian dengan tujuan agar aparat keamanan turut memahami beban operasional yang harus dilakukan oleh perusahaan. Seperti yang dimuat dalam tulisan sebelumnya kompasiana, jumlah ini merupakan perkiraan throughput rata-rata harian yang diproses di fasilitas pabrik PT Freeport Indonesia dari tiap tambang yang berproduksi di tambang Grasberg, urutan hasil kadar bijih yang bervariasi di daerah pertambangan menyebabkan terjadinya fluktuasi dalam waktu pemproduksian bijih yang dihasilkan di berbagai penjualan kuartalan dan tahunan tembaga dan emas. Penjualan tembaga dari operasi pertambangan di Indonesia mencapai265,000,000 pounds tembaga dalam kuartal kedua 2011, dibandingkan dengan penjualan tembaga sebesar 259,000,000 pounds tembaga dalam kuartal kedua 2010, hal ini disebabkan terutama terlihat dalam masa pengiriman. Volume penjualan emas dari operasi penambangan Indonesia meningkat menjadi 330 ribu ons pada kuartal kedua 2011, bandingkan dengan 276.000 ons pada kuartal kedua 2010, perbedaan hal ini tercermin pada waktu sekuensingtambang di Grasberg.

 

Penjualan tembaga dari operasi pertambangan di Indonesia mencapai 543,000,000 poundstembaga untuk enam bulan pertama tahun 2011, dibandingkan dengan 555,000,000 poundstembaga untuk enam bulan pertama 2010, terutama mencerminkan nilai bijih tembaga yang lebih rendah. Volume penjualan emas dari operasi Indonesia kita meningkat menjadi 784.000 ons selama enam bulan pertama tahun 2011, bandingkan dengan 734.000 ons selama enam bulan pertama 2010, terutama mencerminkan waktu sekuensing tambang di Grasberg. Untuk tahun 2011, kami mengharapkan penjualan dari operasi pertambangan Indonesiamendekati 1,0 miliar pon tembaga dan 1,45 juta ons emas, bandingkan dengan 1,2 miliar pon tembaga dan 1,8 juta ons emas pada tahun 2010.

Alhasil, target yang ingin dicapai perusahaan menjadi anjlok. “Sejak aksi mogok berlangsung, produktivitas kami menurun 75 hingga 80 persen. Sulit untuk menormalkan kembali. Saat ini baru 5.000 karyawan yang sudah mulai bekerja sementara 6.000 karyawan lainnya masih mogok. Kami sangat tergantung pada jumlah karyawan,” demikian diakui Juru Bicara PTFI Ramdani Sirait saat dihubungi wartawan, di Jakarta, Rabu (26/10/2011).  Lebih lanjut, Ramdani mengatakan bahwa aktivitas penambangan yang berlangsung di Freeport baru sekitar 50 persen. Selain itu, dengan kondisi demikian manajemen telah mengumumkan status force majeure dalam kontrak penjualan tembaga dan emas kepada para pelanggan. Kondisi force majeure atau keadaan kahar merupakan kondisi di luar kontrol Freeport. Ini lantaran aksi mogok kerja karyawan PT Freeport Indonesia. Dengan status itu, menurut keterangannya, Freeport terhindar dari tuntutan hukum akibat melesetnya pemenuhan komitmen kontrak penjualan. Sementara itu, Juru Bicara Freeport McMoran Copper & Gold Inc, Eric Kinneberg mengumumkan status force majeure dalam kontrak penjualan tembaga dan emas kepada pelanggannya. Ini lantaran aksi mogok kerja karyawan PT Freeport Indonesia. ”Produksi konsentrat yang menurun telah berdampak pada kemampuan kami untuk memenuhi komitmen penjualan sehingga kami akan mengumumkan kondisi force majeure,” katanya, Rabu (26/10/2011).

 Akhiri Manajemen Ekonomi “Tarzan” di Freeport. Sebab mata rantai sistem kapitalistik berbentuk tarzanisme seakan mirip dengan perjalanan ekonomi diera perbudakan yang masih belum mengenal orde pemajuan di segala lini kehidupan. Namun, sampai dunia abad ke-21 sekarang, karakteristik freeport yang bebas memberi uang serampangan membuktikan bahwa pola dan manajemen ekonomi purbakala masih menjadi tradisi sampai sekarang. Parahnya lagi, bila dibiarkan terus menerus, ekonomi tarzan yang dimaksud terus mempraktekan bentuk-bentuk kejahatan disegala lini. Sisi gelap uang haram perusahaan sudah nyata belum bisa diatasi, apalagi pada level kejahatan lainnya seperti ekologi, pelanggaran HAM dan pemenuhan hak sipol yang juga menjadi mandat pada pembangunan diera milenium sekarang, seakan menjadi mimpi saja.

 Menuntaskan masalah yang begitu pelik semacam kasus freeport akhir-akhir ini tidak bisa ditangani dengan segudang perbincangan di layar lebar saja, tetapi membuktikan pengusutan suatu pelanggaran di freeport saja sudah susahnya minta ampun. Jangankan freeport yang gede itu bisa di usut tuntas masalahnya, soal yang semestinya mudah diatasi seperti skandal bank century, pencarian Nunun yang buronan kasus suap ( korupsi-pemilihan BI ), sampai pada mengatasi gejolak di perbatasan antara RI-Malaysa saja negara seakan tidak bisa berdiri tegak, nah apalagi pemerintah mau mengatasi masalah freeport yang sudah gelap sejak awal beroperasi di Papua. Semoga warga Papua mendapat nasib yang baik didalam Indonesia.

Sunday 6 November 2011

West Papua Advocacy Team to Secretary of State Clinton on Indonesian military operation in Puncak Jaya, West Papua

The Honorable Hillary Clinton
Secretary of State
Department of State
Washington, D.C.

July 20, 2011

Secretary Clinton:

The West Papua Advocacy Team is writing to you on the eve of your visit to Indonesia to request that you use this opportunity to raise with senior Indonesians the Indonesian military operation that is occurring in the Puncak Jaya regency of West Papua.

Media reports have indicated that up to 600 Indonesian military (TNI) personal are involved in "sweeping" operations in the region. This operation is only the latest in a series of such operations which the Indonesian military has conducted in the Puncak Jaya region over many years. These operations have had a devastating human toll including civilian casualties, destruction of civilian homes, churches, public buildings gardens and livestock as well as broad displacement of civilians from towns and villages, often to nearby mountains and jungle. Due in part to routine military closure of these zones of conflict to humanitarian operations, displaced civilians suffer and die as a result of lack of food, shelter and access to medical care.

These operations have had a devastating human toll including civilian casualties, destruction of civilian homes, churches, public buildings gardens and livestock as well as broad displacement of civilians from towns and villages, often to nearby mountains and jungle. Due in part to routine military closure of these zones of conflict to humanitarian operations, displaced civilians suffer and die as a result of lack of food, shelter and access to medical care.

Typically, military forces, including forces which benefit from U.S. government equipment and training, fail to distinguish between those they are targeting, the lightly armed Free Papua Movement (the OPM), and the general public. While the OPM is committed to peaceful dialogue, it retains the right to self defense and protecting the local people if attacked. Although the security forces blame all incidents in the area on the OPM, many attacks on the TNI are by unknown attackers. Some of these arise as a result of disputes related to commercial interests among military units and/or with police units which compete over exploitation of natural resources and extortion of local and international commercial operations.

In the current sweep operation media reports indicate four civilians, including one women and 3 children, were wounded on July 12 when Indonesian troops from the Infantry Battalion 753, who are based in Nabire, fired into huts in the village of Kalome while searching for members of the Free Papua Movement (OPM). Thus far, the military has refused to acknowledge this incident.

In May the military began a "socializing program" in Puncak Jaya involving up to 300 Army, Air Force and Navy personnel . The program is proposed to include the renovating of homes, churches and markets. The military personnel, as part of the program, also lecture local Papuans at Papuans Sunday church gatherings. Local people, according to media and other accounts, have described the program as in reality only a shield and a cover-up of the military and police's violation of human rights abuses that have transpired in the region for many years.

Papuan civil society leaders, non-governmental organizations, churches and ordinary civilians have long called for transformation of Papua into a "Land of Peace," a concept that would demilitarize West Papua and end the Indonesian government's reliance on a "security approach" to address peaceful, political dissent. Currently, many Papuans are incarcerated in prisons due to their peaceful exercise of freedoms of speech and assembly which are denied them by the Indonesian government.

We urge you to use the opportunity of your visit to Indonesia to call on the Indonesian President to halt all military operations in West Papua and return all military personal to their barracks as a way of easing tension and saving lives. We also urge you to raise with senior Indonesians, the plight of dozens of Papuan prisoners of conscience who were jailed as result of peaceful dissent and who now face health and even life-threatening conditions in Indonesian notorious prisons.

Yours respectfully,

The West Papua Advocacy Team

What Is the True Price of Freeport's Safety in Papua?

The Jakarta Globe November 5, 2011

by Nivell Rayda & Samantha Michaels

In the highlands of Mimika district in Papua, where temperatures can easily drop to a chilly 10 degrees Celsius, thousands of Freeport workers hold fast to their demands against the owner of one of the world’s largest open gold and copper mines.

Above the estimated 8,000 striking workers, some of whom wear nothing more than a traditional penis gourd and feather-covered head gear, Indonesia’s national flag is always waving.

It is a rare sight in this part of Indonesia, which has seen rising pro-independence sentiment among the indigenous people. But workers say the display of nationalism is deliberate — a way to convince security that their demonstration is a peaceful labor protest and not a separatist movement.

“We want to show that we love NKRI [the United Republic of Indonesia]. We don’t want to be seen as separatists,” said Virgo Solosa, an official from the All Indonesian Workers Union (SPSI).

“This is a labor issue. Our right to strike is guaranteed under Indonesian labor law.” 

Their worry stems in part from the relationship between security forces, which have been trying to stamp out a low-level insurgency in the province for decades, and Freeport Indonesia, which has provided $79.1 million to Indonesian police and military forces during the last 10 years.

“We do provide voluntary support for the security forces to secure our workplace. We have been doing it for years,” Freeport Indonesia spokesman Ramdani Sirait said in response to the National Police’s admission last week of the payments it called “lunch money.”

Freeport admitted as long ago as 2003 that it had been paying security forces since the 1970s and had established a formal arrangement in 1996.

Freeport spent $14 million to support government-provided security in 2010, according to Eric Kinneberg, spokesman for Freeport-McMoRan, the parent company of Freeport Indonesia.

The company detailed the disbursements in its annual “Working Toward Sustainable Development” report, which in past years showed expenditures of $10 million on government-provided security in 2009 and $8 million in 2008.

 

Added security

National Police spokesman Sr. Comr. Boy Rafly Amar has cited the insurgency issue to justify the need to provide added security.

“[Freeport] will never be able to defend themselves against these [armed rebel] threats just relying on their internal security team,” he said on Thursday.

“But at the same time, police cannot allocate such huge funds.” 

Indeed, many workers feel anything but safe.

“We don’t feel secure to work at Freeport or to travel between the mine and our homes,” said Juli Parorrongan, a spokesman for SPSI, which organized the strike. “Too many people have been killed, but we don’t know who’s shooting at us. We need policemen to guarantee our safety.”

A former employee of Freeport, who asked not to be identified, said that the 200,000-hectare mining area required at least 2,000 personnel, jointly provided by police, military and Freeport’s own security team.

“We operate in some of the most hostile environments in the world, not only in terms of remoteness but also security,” he said.

“Cars have been ambushed and shot at. Some of my friends have been killed. All officials are required to travel with armed police officers guarding.”

The attacks have been blamed on the separatist Free Papua Organization (OPM). The group has never admitted to attacking Freeport, though it claims shootings against the police and military.

The former employee also said police were ill-equipped to cope with the harsh environment.

“Their vehicles often broke down,” he said. “Freeport ended up providing them with four-wheel drive vehicles.”

 

Justified payments?

The National Police, Boy said, have an annual budget of Rp 4.2 trillion ($470 million) to support nationwide operations and pay the salaries of 400,000 officers.

“We cannot fully equip our members [assigned to guard Freeport] or provide patrol cars. But Freeport said they could and didn’t mind,” he said.

Former President Suharto’s administration did not fully fund the army’s budget, so soldiers were expected to set up their own local business ventures. But as they searched for ways to supplement their incomes, some exploited the local population and caused negative social, economic and environmental ripple effects.

 

“Such military activities would adversely impact [Freeport] employees and the surrounding community,” said Prakash Sethi, head of the New York-based International Center for Corporate Accountability, which led an audit of Freeport’s Indonesia mining operations between 2002 and 2007.

During the audit, Sethi visited the mine and spoke with workers, community members and management about Freeport’s performance in the areas of human rights, hiring, community development and other labor issues as well as the security payments.

“It is my interpretation that ... because the military did not have adequate facilities at the mine site, Freeport agreed to provide the military with ‘largely’ in-kind support in terms of housing and eating facilities,” Sethi wrote in an e-mail, adding that his audit did not examine how the military used those funds. “At the same time, some funding was provided for ‘miscellaneous expenses.’ ”

Freeport-McMoRan spokesman Kinneberg said 80 percent of the $14 million in security spending in 2010 was non-cash, in-kind support for meals, health care, facilities, housing, transportation and other support necessitated by the remote posting.

 

Questions arise

An April 19, 2011, letter sent by Papua Police chief of operations Sr. Comr. Rudolf A Rodja to the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras), obtained by the Globe, states that security allowances were more than “incidental and administrative.”

“[Freeport’s] monthly contribution to the security task force members of the National Police and TNI amounts to Rp 1.25 million per person, directly provided to members of the security force by Freeport management,” Rudolf wrote.

The police spokesman defended the allowance.

“That’s only Rp 40,000 a day. Even if they want to spend it, the nearest shop is two and a half hours down the mountain,” Boy said.

Maj. Gen. Erfi Triasunu, chief of the Cendrawasih Military Command, which oversees operations in Papua, said military officers received the same amount in meals and snacks.

Those direct cash disbursements have left Freeport open to intense scrutiny by rights activists and the workers, who have been striking to request higher salaries, currently set at $1.50 to $3 per hour.

The workers are demanding a wage of $7.50 an hour, down from an initial demand for $30 to $200 per hour. The company has offered workers a 30 percent pay raise, up from 25 percent when the last set of talks began on Oct. 21.

“This is very unfair. The company pays the police much more than us,” Juli said.

“The company should care for us more than it cares for the outside forces.”

An even more pressing question is whether the payments affect the neutrality of the security forces.

Poengky Indarti, executive director of the Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), said the payments could create a conflict of interest for the police, who are supposed to be serving the state. But Boy said the payments had no effect on police neutrality in the labor dispute.

On Oct. 10, police opened fire on striking Freeport workers who tried to board Freeport buses from a nearby town, Timika, to demonstrate by the mine’s gate.

Police cited a 2004 presidential decree classifying mining areas, including the Grasberg mine, as “national vital objects” to argue that they were obliged to protect Freeport’s assets — the buses. One striker died from gunshot wounds amid the ensuing chaos.

Juli said it was not until that incident that the police took a more neutral, cautious approach to the strike.

 

Questionable legality

The other question is whether the funds are legal at all.

“This provision of support is consistent with our obligations under our agreements with the respective governments, our philosophy of responsible corporate citizenship and the Voluntary Principles on Security and Human Rights,” Kinneberg said.

Ratified in 2000 by the UK and US governments along with energy and mining companies, the principles stipulate that “in cases where there is a need to supplement security provided by host governments, companies may be required or expected to contribute to, or otherwise

reimburse, the costs of protecting Company facilities and personnel borne by public security.”

But the principles also say that companies should consider the human-rights records of public security forces. In Indonesia’s case, human rights abuses by its military and police have long been a public issue.

The payments have also raised questions about whether Freeport has violated the US’s Foreign Corrupt Practices Act.

The Pittsburgh-based United Steelworks Union sent a letter on Tuesday to the US Department of Justice, asking the government to look into whether Freeport violated the FCPA by “engaging in what we believe is likely bribery of security forces in Indonesia.”

However, the US Justice Department has already looked into Freeport’s payments, ending its inquiries a few years ago without any resulting prosecution under the FCPA. Since 2003, the company has filed accounts of the security payments in an annual report with the US Securities and Exchange Commission.

“If the payments are not secret, if they are totally transparent, then I don’t think they can be seen as a bribe,” said Sethi, who specializes in international business and corporate codes of conduct. “The practice may be unsavory and maybe it shouldn’t be done, but having said that, it’s not the same thing as a violation of the Foreign Corrupt Practices Act.”

Firdaus Ilyas, a researcher from the Indonesia Corruption Watch, maintains the payments violate Indonesian laws.

“There is not a single rule that allows this,” he said. “They have to have a legal basis and the payment should be made to an account the public can scrutinize.”

ICW also questioned the size of the payments. According to Freeport reports, it grew from $4.7 million in 2001 to $14 million in 2010.

“You don’t buy vehicles every year, you don’t build police housing and barracks every year. People in the field only get Rp 1.25 million each per month. So where does the rest of the money go?” Firdaus said.

National Police chief Gen. Timur Pradopo said on Friday that an internal investigation had been launched into how much police received from Freeport.

“We welcome all sides to audit,” he said. “It is better for independent parties like the KPK [Corruption Eradication Commission] and the BPK [Supreme Audit Agency] to audit it.”

Additional reporting by Igor O’Neill and Farouk Arnaz

Saturday 5 November 2011

Komite Nasional Papua Barat: Seruan Aksi Menyeluruh!!!

14 November 2011.
Surat Resmi dalam 

 Duduki Jantung Kota Diseluruh Tanah Air Papua Barat, Menolak Kompromistis Dengan Pemerintah Indonesia Dalam Bentuk Apapun Sebelum Ada Titik Terang Untuk Dilaksanakan Referendum Sebagai Jawaban Penyelesain Status Politik Bangsa Papua Barat. 
 Salam Revolusi!

Seruan melaksanakan aksi secara menyeluruh diseluruh tanah air Papua Barat, mulai dari Sorong sampai Samarai dan secara internasional di luar negeri. Aksi ini secara serempak wajib dilaksanakan sebagai lanjutan perjuangan dan cita-cita bangsa Papua Barat untuk menuntut pelaksanaan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat melalui mekanisme Referendum.

Akhir-akhir ini dengan banyaknya berjatuhan korban baik ditingkatan elemen masyarakat sipil maupun militer, pemerintah Indonesia di bawa kepemimpinan SBY-Boedionon belum mengambil komitmen untuk menyelesaikan persoalan bangsa Papua Barat, pemerintah terus menutup diri dan secara diam-diam menambah pasukan militer TNI-POLRI di tanah air Papua Barat.  

Peristiwa kekerasan, konflik, Pembunuhan dan pemaksaan terhadap penghilangan nyawa manusia bangsa Papua Barat kini sedang berlajut terus secara massif dan sistematis, tidak sedikit ratusan bahkan hamper mendekati jutaan ribu nyawa bangsa Papua Barat yang tak berdosa direnggut nyawanya.

Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah pimpinan rezim militeristik SBY-Boediono tetap ngotot meyelesakain persoalan bangsa Papua Barat dengan cara-cara militeristik, diantaranya adalah dengan cara pengiriman dan penambahan pasukan non-organik dalam jumlah banyak dengan dalil menjaga stabilitas keamanana dan atas nama keutuhan NKRI.

Situasi terus memanas sejak Timika bergejolak 15 September 2011, perusahaan tambang raksasa PT. Freeport secara leluasa mengitimidasi kaum buruh dan masyarakat adat setempat dengan cara membayar militer untuk membunuh mereka.

Insiden Zakeus 19 Oktober 2011 yang berbuntut dengan kematian 7 orang warga sipil  Penjaga Tanah Papua (PETAPA), sampai saat ini tidak ada satupun institusi sipil maupun militer milik pemerintah yang mengaku bertanggung jawab atas data korban. Pemerintah seolah-oleh mendiskriditkan perjuangan bangsa Papua sebagai komponen perjuangan separatis dan makar.

Pasca penembakan, Kapolsek Mulia, Puncak Jaya, Papua, AKP Dominggus Octovianus Awes, situasi Puncak Jaya semakin memanas, gabungan TNI-POLRI satu kompi dari Kelapadua-Jakarta diarahkan ke wilayah tersebut guna mengejar para geriliyawan Tentara Pembebasan Nasional (TPN), tembak menembak terjadi beberapa waktu, warga sipil banyak yang mengungsi ke hutan-hutan dan banyak yang mengalami serangan penyakit mematikan di antaranya batuk, muntaber, demam dll, hal tersebut juga dipicu akibat senjata kimia yang digunakan aparat dalam proses tembak-menembak.

Pemerintah Indonesia telah lupa bahwa rentetan peristiwa diatas terjadi merupakan akumualsi dari persoalan sejarah rekayasa politik PEPERA 1969 yang merupakan bentuk subsatasi persoalan dasar yang kini belum tuntas. Sejarah bangsa Papua Barat dimanipulasi kedalam bentuk sejarah bangsa Indonesia sebagai bagian dari pembenaran sejarah oleh kaum opurtunis watak cahuvinistik. Kini gejolak berdarah, konflik kepentingan dan rasa ketidak adilan terus mewarnai kolektifitas sosial bangsa Papua Barat yang tak kunjung ada habis-habisnya.

Dengan demikian, Mengingat beberapa rentetan peristiwa diatas sangat penting dan mendesak untuk di sikapi , maka Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai Media Nasional rakyat Papua Barat sekaligus penanggung jawab politik dalam negeri tanah air Papua Barat akan menyikapinya dalam bentuk aksi (demo) secara menyeluruh, dan,

 Menyerukan:  
  1. Kepada seluruh Kawan-kawan pimpinan KNPB Wilayah-Wilayah di Daerah, KNPB Konsulat Pasifik dan Konsulat Indonesia    untuk melakukan konsolidasi secara menyeluruh diseluruh wilayah tanah air untuk tujuan mobilisasi umum.
  2. Menyeruhkan kepada seluruh Elemen-elemen gerakan demokratik dan organisasi-organisasi perjuangan Papua Merdeka di seluruh wilayah negeri tanah air Papua Barat untuk turut terlibat dan berpartisipasi dalam agenda aksi nasional tersebut
  3. Menyerukan kepada para diplomat bangsa Papua Barat di Luar Negeri untuk terus lakukan lobi-lobi Internasional dengan membuka seluruh akses jaringan dan melakukan aksi serentak di negeranya masing-masin
  4. Aksi secara serentak dan menyeluruh dilakukan pada hari Selasa, 14 November 2011.

Demikian seruan aksi ini di keluarkan,

“Kita Harus Mengahkiri”

Port Numbay, 03 November 2011.

Koordinator Umum

Ttd

Victor Kogoya

Penanggung Jawab Politik Dalam Negeri

KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT
(KNPB – PUSAT)

Buchtar Tabuni

Ttd
Ketua Umum

Friday 4 November 2011

Pepera Sudah Final

Proses pelaksanaan Pepera sendiri mulai dilaksanakan tanggal 24 Juli sampai dengan Agustus 1969. Petugas PBB yang mewakili Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz bersama-sama 16 orang pengawas PBB lainnya. Mulanya PBB mengutus 50 orang staf ke Papua tapi jumlah ini kemudian dikurangi 25 orang, akhirnya hanya 16 orang anggota PBB yang ditugaskan, dan ini termasuk staf administrasi. PBB menyetujui untuk membatasi jumlah pejabatnya sehingga yang mengawasi Pepera memang dalam jumlah kecil. Jadi sangat tidak berdasar adanya anggapan bahwa PBB sebagai organisasi dunia mendapat tekanan dari Indonesia sehingga pengawas Pepera yang ditugaskan hanya 16 orang. 

 Tugas pengawasan dimulai pada tanggal 23 Agustus 1968, Ortiz Sanz tiba di Papua dan memulai perjalanannya 10 hari 3000 mil ke daerah melalui pesawat. Yang menemani dia seluruh tim 8 Pejabat resmi Indonesia yang dipimpin oleh Sudjarwo Tjondronegoro, perwakilan Jakarta untuk Papua. Setelah kembalinya, Ortiz Sanz menulis dalam suatu laporan untuk Sekjen PBB, U,Thant dan dia memuji pekerjaan Indonesia:“Pemerintah harus diberikan kredit atas kemajuan dalam pendidikan dasar, proses pembauran melalui pemakaian bahasa umum (Indonesia), pembangunan sekolah dan menunjukkan usaha-usaha pergaulan yang bersahabat” Dia juga menambahkan: “Kita mengetahui bahwa prinsip “satu orang satu suara” tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk. … Kita juga mengakui bahwa pemerintah Indonesia dimana memperlihatkan ketidakpastian tentang hasil-hasil musyawarah, akan mencoba, dengan semua maksud-maksud pembagian itu, mengurangi jumlah orang, perwakilan-perwakilan, dan lembaga-lembaga musyawarah.” 

 Dilaksanakan di 8 Kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura oleh 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa. DMP tersebut terdiri atas 400 orang mewakili unsur tradisional (Kepala Suku/Adat), 360 orang mewakili unsur daerah dan 266 orang mewakili unsur organisasi politik/organisasi kemasyarakatan. Hasil dari Pepera yang digelar di 8 Kabupaten Irian Barat (Papua), semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Papua merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Ini menandai bahwa secara de facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan NKRI. Dengan dikeluarkannya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969, dengan 82 negara yang setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju, menunjukkan bahwa dunia Internasional sudah mengakui keabsahan Pepera 1969. 

Pada saat memutuskan untuk menggelar Pepera tentunya PBB sudah memperhitungkan bahwa konsekuensi dalam dinamika berdemokrasi akan muncul pro dan kontra antara pihak yang menerima atau menolak hasil dari Pepera. Gugatan terhadap keabsahan Pepera 1969 yang selalu didengungkan oleh OPM hanyalah usaha mencari kambing hitam dengan berupaya menemukan celah sejarah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya. Pepera 1969 sudah dilaksanakan sesuai kondisi medan/wilayah dan perkembangan masyarakat yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan secara “one man, one vote”. Jika hal ini dipandang sebagai suatu kecacatan, tapi pada kenyataannya PBB melalui Resolusi No. 2504 telah menerima keabsahannya. Dunia Internasional pun secara mutlak menerima Pepera ditandai dengan tidak ada satupun negara yang menolak. Dalam konteks tersebut di atas resolusi yang dikeluarkan oleh PBB untuk mengakui hasil Pepera harus dianggap sebagai dokumen yang menentukan bahwa Pepera telah dilakukan (walaupun dengan sistem perwakilan) dan hasil Pepera diterima dengan baik sebagai suatu hal yang final. 

Seperti di Timor-Timur dalam jajak pendapatnya menunjukan bahwa walaupun terjadi keberatan tentang penyelenggaraan jajak pendapat, ternyata PBB tetap pada pendiriannya bahwa rakyat Timor-Timur telah memilih untuk berpisah dengan Indonesia. Lebih lanjut pilihan ini diakui oleh masyarakat Internasional walaupun ada keberatan-keberatan yang dilakukan oleh berbagai pihak. Resolusi PBB No 2504 merupakan penegasan pengakuan PBB atas kedaulatan NKRI terhadap Papua, dan karena itu setiap upaya untuk memisahkan daerah tersebut dari NKRI merupakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku, termasuk piagam PBB itu sendiri.