Saturday 17 September 2011

Dewan Minta Pemda Mediasi Kemelut PTFI

Ditulis oleh redaksi binpa    
Jumat, 16 September 2011 22:42

JAYAPURA—DPDR Mimika mendesak pimpinan daerah turun tangan memfasilitasi penyelesaian kemelut hubungan industrial antara Manajemen PTFI dengan PUK FSP KEP SPSI PTFI.  Sebab mogok kerja sesuai surat SPSI PTFI selama satu bulan berdampak buruk pada aktifitas perusahaan, penghasilan karyawan dan perekonomian di daerah ini.

“ DPRD Mimika mengharapkan Bupati Mimika, Klemen Tinal, SE.MM  dan Wakil Bupati, Abdul Muis, ST.MM  mengambil langkah-langkah kongkrit dalam menjembatani permasalahan karyawan dengan manajemen PTFI semenjak deadlock perundingan PKB Juli lalu,” kata Allo.
Allo mengapreasiai Pemda Mimika telah merespon penanganan masalah kedua belah pihak dari jauh-jauh hari sebelum terjadi mogok dalam pertemuan di Hotel Grand Tembaga selama beberapa hari untuk meminta penjelasan manajemen dan PUK FSP KEP SPSI PTFI.  Dari pertemuan tersebut masing-masing pihak tetap mempertahankan keputusan mereka. Dimana manajemen PTFI tetap berpegang pada 7 tawaran sedangkan PUK FSP KEP SPSI PTFI dengan tuntutan kenaikan upah 17,5 dolllar per jam.  Dari pertemuan tersebut DPRD member pandangan tidak cukup penyelesaian kasus ini hanya pada tingkat SKPD teknis dan tingkat Asisten, melainkan pimpinan daeran Bupati dan Wakil Bupati harus perlu turun tangan langsung menjembatani persoalan tersebut. Memang kata Allo sedikit rumit karena kedua pihak tidak saling mengalah, bahkan telah terjadi mogok, namun masih ada waktu bagi pemda menengahi persoalan ini dengan mengundang manajemen PTFI dan PUK FSP KEP SPSI PTFI agar dapat membuka ruang bagi perundingan PKB tahap berikutnya.  Bupati dan Wakil Bupati memanggil Presdir/CEO PTFI, Armando Mahler untuk menjelaskan persoalan yang sedang membelenggu PTFI saat ini. “ ini sudah masalah manajemen PTFI dapat menjelaskan secara jujur tentang pemberlakuan upah bagi karyawan, termasuk semua jenis biaya yang dikenakan perusahaan baik untuk operasional, gaji karyawan, dan pengeluaran lainnya, sehingga bisa dihitung sama-sama dengan tujuan mencari jalan terbaik guna mengakhiri aksi mogok ini,” terang Allo.

Tidak hanya itu, Pemda juga dapat memanggil pengurus SPSI PTFI untuk  menjelaskan  tentang upah yang mereka terima selama ini. Kemudian usulan SPSI yang normatif dan sesuai dengan kondisi daerah bisa dibicarakan dengan Pemda Mimika.  Dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek, seperti  aspek ekonomi, ketertiban dan keamanan, dampak sosial,  pengaruh terhadap perkembangan fiscal dan moneter pemda dapat mengambil sikap tegas dengan tawaran upah yang masuk akal dan dapat diterima oleh SPSI PTFI dan Maajemen PTFI.

Sementara Anggota DPRP Provinsi Papua yang juga wakil dari Timika, Albert Bolang,SH.MH kepada wartawan belum lama ini di Timika mengatakan DPRP telah menerima surat berkaitan dengan mogok kerja karyawan PTFI. Agar tidak tumpang tindih kewenangan, Bolang mengatakan pihaknya akan mendorong Komisi D dan Komisi E DPRP untuk memperlajari dan menengahi permasalahan yang sedang terjadi di Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika.

Bolang meminta kedua belah pihak agar saling membuka diri dengan membawa permasalahan ini pada meja perundingan PKB. Bila PKB kedua selama 30 hari tidak ada kesepakatan, kedua pihak boleh menentukan sikap untuk membawa kasus ini ke Pengadilan Hubungan Industrial di Jayapura. Secara normatif dari sisi aturan pengadilan akan mempelajari tuntutan dari kedua pihak sesuai ketentuan aturan perundang-undangan. Karena di ranah hukum yang bicara itu aturan dan tata acara bukan kompromi-kompromi.

Namun bagi Bolang, masih ada waktu bagi kedua belah pihak untuk berunding dengan mencari alternatif terbaik dalam menyelesaikan kemelut hubungan industrial ini. Sebagai bapak dengan anak diharapkan kedua pihak mampu mengakhiri mogok sekaligus mengendakan kembali jadwal perundingan jlid kedua. (hdm/roy/lo2)

Segera Hadirkan James Moffet !

 

Ruben Magai: Freeport  Diharapkan Membuka Diri

 

JAYAPURA—Aksi mogok kerja ribuan karyawan PT Freeport Indonesia sebagai akibat dari buntunya  kesepakatan  Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara karyawan dan pihak manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) yang telah ditetapkan tanggal 21 Juli 2011,  mendapat perhatian serius dari Ketua Komisi A, Ruben Magai S.IP.  Menurutnya, guna mengatasi permasalahan berkepanjangan ini  pihak Pemerintah Indonesia dan  Kedubes Amerika Serikat (AS) didesak segera menghadirkan James Moffet, pemegang saham mayoritas   tambang emas PTFI  di Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. 

 

Pasalnya, PTFI adalah investasi terbesar AS yang ada di Indonesia khususnya di Papua.   

 

Demikian disampaikan Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai S.IP ketika dikonfirmasi diruang kerjanya, Jumat (16/9). Politisi Partai Demokrat Papua ini menandaskan,  kehadiran James Moffet diharapkan dapat membantu karyawan meningkatkan produktivitas kerjanya. 

 

“Mogok massal karyawan itu dilakukan dengan sadar karena mereka mengetahui persis produksi emas setiap  hari di  PTFI. Tapi justru hak dan kewajiban karyawan tak sebanding dengan pendapatan pemegang saham,” tukasnya.    

 

Dia menegaskan, pihaknya juga mengharapkan agar PTFI membuka diri dengan situasi yang terjadi sehingga karyawan bisa mendapat porsi yang sepadan dengan pengorbanan karyawan. (mdc/don/l03)

 

Sunday 11 September 2011

Aparat Keamanan Diminta Hentikan Pembohongan Publik

JUBI --- "Aparat keamanan katakan tidak ada penyiksaan dan penganiayaan. Aparat keamanan mengatakan memberikan mereka makan. Mendapat pelayanan yang baik. Tetapi, saya melihat dari laporan itu bahwa semua yang dikatakan oleh aparat keamanan di media masa adalah pembohongan besar dan kejahatan aparat Negara di media." demikian pernyataan Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP) melalui siaran pers yang diterima redaksi tabloidjubi.com, Kamis (08/09) malam.

Siaran pers ini dimaksudkan untuk menanggapi pernyataan Kapolresta Jayapura, Imam Setiawan, disalah satu media lokal (08/09/2011) yang menyatakan:  "Saat mereka diamankan, kami tidak melakukan pemukulan. Kami hanya mengamankan mereka untuk membantu proses penyelidikan.Mereka tidak diamankan tidak lebih satu hari dan selama berada di Mapolres mereka diperlakukan dengan baik dan diberi makan.Jadi kalau ada yang menuduh aparat melakukan pemukulan, diberitahu siapa oknum anggota."

Dalam pandangan PGBP, fakta dari peristiwa penangkapan pada tanggal 31 Agustus 2011, jam 05.00 pagi oleh aparat gabungan TNI dan POLRI yang melakukan penyergapan dan penangkapan terhadap penduduk sipil yang berada di Kotaraja Gunung sangat memilukan hati dan banyak bukti penyiksaan yang tidak manusiawi.

Kapolresta juga diminta untuk tidak berdalih dengan menyebutkan "oknum", karena yang terjadi adalah kekerasan dan kejahatan aparat Negara terhadap penduduk sipil di Papua. Aparat kepolisian jangan berani menangkap rakyat kecil tapi tidak berani menyentuh wilayah Orang Tak di Kenal (OTK). Peristiwa seperti ini sangat memalukan aparat keamanan TNI dan POLRI karena berperang melawan rakyatnya sendiri. Berperang melawan penduduk sipil dengan stigma-stigma dan melakukan pembohongan publik.

Socratez Yoman, Ketua PGBP dalam siaran pers tersebut kembali meminta Aparat kepolisian segera membongkar dan menangkap dalang kasus yang sebenarnya. Aparat kepolisian jangan meng-kambing-hitamkan rakyat sipil. (J/01)